Akhir-akhir ini, isu terorisme menjadi isu yang paling hangat di masyarakat. Terorisme sebagai momok yang menakutkan telah memakan banyak korban, baik secara materi maupun perasaan. Peledakan bom di beberapa tempat merupakan salah satu bentuk dari terorisme. Dan yang menjadi fenomena menarik adalah ketika tindakan tersebut dikaitkan dengan pemahaman keagamaan seseorang maupun kelompok. Pemahaman tersebut laksana pemantik api yang cukup kuat sehingga dapat membakar pikiran pelaku tindakan terorisme dengan menjadikan agama sebagai hujjah/alasan tunggal dan utama sebagai landasan perilakunya. Secara tidak langsung namun pasti hal ini telah merusak citra agama yang sejatinya lahir sebagai pembawa kedamaian di muka bumi. Agama tidak lagi menjadi santun, tepo sliro, dan menyejukkan hati ketika ia telah menjadi alasan untuk melakukan pengrusakan. Norma dan nilai dari sebuah agama akan hilang dan si pelaku bisa jadi merupakan orang yang tidak beragama lagi karena ia melupakan esensi dasar dari agama.
Pemahaman esensi dan substansi dari agama itulah yang sekarang menjadi sesuatu yang langka. Agama hanya dipahami sebagai sebuah simbol yang selalu diagung-agungkan. Agama diartikan sebagai sesuatu yang serba putih saja. Bahkan agama dianggap sebagai ajaran moral yang harus membunuh lawan-lawan yang berlainan agama dengan janji-janji manis kehidupan surga. Ajaran agama yang sering digunakan dalih untuk melakukan pengrusakan dan tindakan terorisme adalah ajaran “jihad” yang difahami secara harfiah tidak menyeluruh sampai kepada tataran makna. Jihad hanya sebatas pergulatan fisik di medan perang dengan membawa pedang. Padahal makna jihad sesungguhnya adalah usaha keras untuk mengalahkan nafsu yang selalu membawa manusia kepada perbuatan yang dilarang oleh agama. Apabila manusia sudah dapat menguasai nafsunya maka hati nuraninya akan selalu membimbing kepada kebaikan.
Agama hanya difahami dari bentuk luarnya namun nilai-nilai inti yang tersembunyi dari pesan agama tidak difahami dengan baik. Hal inilah yang menyebabkan seseorang pemeluk agama memberanikan diri untuk melakukan perilaku keji dengan dalih sebuah ajaran agama tertentu. Ia tidak menemukan hakikat kasih sayang dari ajaran agamanya. Padahal inti dari ajaran agama adalah bagaimana agar pemeluknya memandang setiap orang dengan pandangan penuh rasa kasih dan sayang. Sehingga kelak kehidupan yang harmoni bukanlah sebuah utopia belaka.
Surakarta, 17 Maret 2015 - lagi senggang di kantor - memikirkan seseorang nan jauuh di sana :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar