Pamor, mungkin kata itulah yang menggoda pikiranku siang ini. Kata “pamor” dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia yang disusun oleh Poerwadarminta (1976:700) memiliki tiga makna leksikal, yaitu: (1) sebuah baja putih yang ditempatkan pada bilah keris dsb: mis. batu yang mengandung pamor; (2) lukisan pada bilah keris dsb yang dibuat dari baja putih; mis. keris yang elok pamornya; makna (1) dan (2) bisa dilihat pada gambar di atas, (3) bermakna kiasan, yaitu: seri, semarak (keindahan, kemuliaan, dsb); mis. orang yang sudah hilang pamornya. Adapun kata berpamor berarti memakai pamor.
Ternyata kata pamor yang saya pakai selama ini bukan makna sesungguhnya alias makna kiasan. Banyak sekali orang yang mendambakan akan pamor. Bahkan siang hari ini pun aku hampir terjebak untuk berpamor ria, padahal apa sih sebenarnya keuntungan dari pamor atau kemuliaan ini? Apa jadinya kalau kita hidup hanya sibuk ngurusin pamor, padahal hidup sekali adalah hidup yang berarti, bukanlah hidup yang berpamor.
Ternyata manusia masih sibuk dan sering terjebak untuk mencari pamor yang makna aslinya sebenarnya adalah baja putih atau lukisan pada sebuah keris. Atau mungkin hal ini sudah menjadi fitrah manusia untuk terus mencari pamor, dari wong cilik sampai anggota DPR, pejabat, semua sibuk mencari pamor, wa bil khusus para selebritis, sampai istri seoarang ustadz ternama pun ketika sedang merawat diri di rumah kecantikan diliput media, semua hanya atas nama pamor.
Ternyata pamor memang masih menggiurkan di mata manusia. Sebenarnya wajar jikalau manusia mencintai pamor atau keindahan ini, namun yang jadi masalah adalah batas dan kadar kecintaan tersebut pada sang pamor. Berlebihan atau tidak? Mungkin itulah pertanyaan untuk mengakhiri tulisan ini.. sekedar corat-coret di tanggal 10 Februari 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar