Selasa, 14 Februari 2012

Apa yang Salah dengan Irak?


Apa yang Salah dengan Irak?
Oleh:
Muhammad Yunus Anis*

Dalam filsafat telah lama diterima ajaran tentang satu-satunya hukum tetap yang berlaku dalam kehidupan ini adalah tidak adanya “ketetapan” itu sendiri. Ajaran inilah yang mungkin cukup nyata terealisasikan dalam sebuah kawasan yang selama ini kita sebut sebagai “Timur Tengah”. Perubahan sebagai wujud dari tidak adanya ketetapan telah menjadi sebuah harga mati yang tidak dapat ditawar lagi. Sebuah iklim perubahan, dengan segala macam manifestasinya dalam setiap aspek kehidupan dan segenap akibat bagi konstelasi percaturan politik dunia, terlihat nyata di kawasan ini, mulai dari konflik tanpa henti, upaya penegakan demokrasi, dan upaya integrasi yang seakan-akan hanya menjadi sebuah fiksi atau cerita rekaan belaka. Hal ini semakin nyata terlihat dalam upaya integrasi di kawasan Irak baik secara horizontal maupun vertikal. Apalagi setelah ditambah dengan problematika tidak akurnya Irak dengan negara-negara yang ada di sekitarnya, semakin membuat kita bertanya: sebenarnya apa yang salah dengan Irak?
Manifestasi dari tema pergolakan yang berlangsung secara menetap di negeri 1001 malam ini dapat dilihat dari beberapa kenyataan berikut: (1) fungsi kawasan Irak dalam konteks kekinian sebagai wadah konflik antara superpowers, (2) sebagai wadah konflik ideologis dan teologis antara umat beragama, (3) sebagai wadah konflik antara suku/etnik, dan (4) sebagai wadah ketegangan antara Irak sendiri dengan negara tetangga. Berangkat dari empat hal tersebut, makalah ini akan mengurai secara singkat, padat, dan tepat guna apa yang sebenarnya melatarbelakangi konflik Irak dengan negara-negara tetangga, pertama dari sisi historis, kedua dari sisi geografis, ketiga dari sisi politis, dan keempat dari sisi ekonomi.
Latar Belakang Historis
Secara historis, konflik berkepanjangan antara Irak dengan negara-negara tetangga, dalam hal ini negara Iran dan Kuwait, bersumber dari fanatisme etnis dan klaim kebenaran dalam hal teologis. Fanatisme etnis ini terlihat dari saling merasa unggul antara bangsa Arab dan bangsa Persia. Akar dari masalah ini sebenarnya dimulai lebih dari berabad-abad silam. Berlarut-larutnya permusuhan yang terjadi antara kerajaan Mesopotamia (terletak di lembah sungai Tigris-Eufrat, yang kini menjadi sebuah negara Irak modern) dengan kerajaan Persia atau negara Iran modern. Sumber sejarah menyatakan bahwa pada tahun 638, Mesopotamia yang sekarang dikenal dengan negara Irak diduduki dan diambilalih dari kekaisaran Sasanian Persia oleh bangsa Arab dari Jazirah Arab dan rakyat di wilayah itu dijadikan beragama Islam. Wilayah Mesopotamia ini telah menjadi medan peperangan dan perebutan kekuasaan silih berganti selama tiga ratus tahun antara Kesultanan Ottoman yang Sunni dan Kekaisaran Safavid dari Persia yang berhaluan Syi’ah.
Adapun klaim kebenaran absolut dalam hal teologis ini terlihat dari Ayatullah Khomeini, pemimpin revolusi Islam di Iran. Ia memang memiliki impian untuk menyebarkan pengaruh revolusinya ke negara-negara Arab lainnya. Pertengahan tahun 1980, Khomeini menyebut bahwa pemerintahan sekuler Irak adalah pemerintahan "boneka setan" & masyarakat muslim di Irak sebaiknya bersatu untuk mewujudkan revolusi Islam seperti di Iran. Pernyataan Khomeini tersebut sekaligus sebagai respon dari pernyataan Saddam pasca revolusi Islam Iran yang menyatakan bahwa secara historis bangsa Persia (Iran) tidak akan berhasil membalas dendam kepada bangsa Arab sejak Pertempuran al-Qadisiyyah, pertempuran pada abad ke-7 yang dimenangkan oleh bangsa Arab sekaligus menumbangkan Kerajaan Persia kuno.
Latar Belakang Geografis
Untuk menjaga kekuasaannya, Saddam harus menjaga integritas bangsa dan negara. Salah satu cara adalah menghadapi pemberontakan suku Kurdi yang secara geografis terletak di wilayah Irak Utara dan permasalahan Kaum Syia’ah yang berada di wilayah Irak Selatan. Gangguan terhadap integrasi Irak ini akan selalu terjadi dari pemberontakan suku Kurdi yang secara langsung didukung oleh Iran dan Israel untuk mencapai kemerdekaannya. Begitu pula kaum Syi’ah Irak yang selalu mendapatkan dukungan penuh dari Iran sebagai negara Islam Syia’ah. Untuk itulah, Irak harus menjaga kesatuan bangsa dan negaranya agar tidak diintervensi oleh negara lain.
Sumber konflik utama di kawasan Timur Tengah juga bermula dari masalah politik air (hidropolitik). Secara garis besar masalah air laut terdiri dari masalah terbatasnya akses air laut yang dimiliki oleh beberapa negara Timur Tengah seperti Irak dan Yordania, masalah perbatasan, dan masalah potensi kekayaan air laut seperti, mineral, pulau-pulau, dan pendapatan yang diperoleh karena memiliki laut. Mengingat pentingnya  air laut bagi superioritas militer, pengangkutan eksport minyak dari negara-negara Timur Tengah, dan sebagai pemasukan penghasilan negara karena hasil dari laut seperti ikan, mineral/gas, ataupun dari retribusi kapal-kapal asing yang melewati laut maka perbedaan kondisi air laut tidak jarang menimbulkan konflik.
Ada Negara yang memiliki pantai yang amat panjang dan terdiri dari lebih dari satu Laut/Samudra seperti Arab Saudi yang memiliki Laut Merah, dan Laut Arabia, Turki memiliki Laut Mati dan Laut Aegean, Israel dan Mesir memiliki Laut Mediterranean dan Laut Merah, serta Moroko yang memiliki Laut Tengah dan Samudra Atlantik, atau Uni Emirat Arab dan Oman yang memiliki Laut Arab dan Samudra India. Sementara itu, ada Negara yang dapat dikatakan sama sekali tidak memiliki pantai yaitu Yordania, atau memiliki tetapi sangat terbatas seperti Irak dan suriah. Padahal untuk meningkatkan perekonomiannya dan memperkuat Angkatan Lautnya, Irak membutuhkan akses yang cukup luas ke laut lepas. Panjang pantai yang dikuasai Irak di wilayah Basrah sangat tidak memungkinkan Irak mempunyai akses yang baik ke laut. Itulah sebabnya Irak meminta kepada Kuwait untuk memberikan akses ke laut pada Irak. Namun Kuwait tidak mau memberikan. Hal itulah yang juga menjadi penyebab kenapa Irak selalu mengalami konflik dengan negara-negara yang ada di dekatnya.
Sedangkan masalah air tawar meliput: masalah air bersih, untuk keperluan sehari-hari, irigasi guna pengembangan dan pertanian, dan untuk pembangkit tenaga listrik, serta masalah perbatasan. Sumber air tawar terdiri dari air permukaan seperti sungai dan danau yang merupakan renewable resources, dan air tanah (ground water) yang merupakan unrenewable resources. Setiap permasalahan air tersebut diatas mempunyai potensi konflik cukup tinggi, dan beberapa diantaranya telah menjadi konflik terbuka seperti perang Irak-Iran yang disebabkan oleh perbatasan air di Shatt-al Arab, intervensi Irak ke Kuwait yang salah satu alasannya adalah yaitu terbatasnya akses air laut yang dimiliki Irak.
Shatt al-Arab adalah sungai sepanjang 200 km yang terbentuk dari pertemuan Sungai Efrat & Tigris di kota Al-Qurnah, Irak selatan, di mana bagian akhir dari sungai yang mengarah ke Teluk Persia tersebut terletak di perbatasan Irak & Iran. Sungai tersebut utamanya penting bagi Irak karena merupakan satu-satunya jalan keluar negara tersebut ke laut. Karena letaknya yang berada di perbatasan & posisi strategisnya yang mengarah ke Teluk Persia, sungai tersebut menjadi bahan sengketa Irak & Iran. Sebelum perang antara kedua meletus, sejak tahun 1975 sungai tersebut menjadi milik kedua negara di mana batasnya adalah pada titik terendah sungai berdasarkan Persetujuan Aljier (Algier Accord).
Wilayah lain yang menjadi sengketa kedua negara adalah provinsi Khuzestan yang kaya minyak. Wilayah tersebut selama ini menjadi wilayah Iran, namun sejak tahun 1969 Irak mengklaim bahwa Khuzestan berada di tanah Irak & wilayah tersebut diserahkan ke Iran ketika Irak dijajah oleh Inggris.
Sengketa perbatasan antara Irak dengan Kuwait juga bermula dari keadaan geografis perebutan pulau. Hal ini dilatarbelakangi oleh ambisi Saddam Husein ketika Irak mapan dalam bidang perekonomian dan cukup kuat dari sisi persenjataannya. Bahkan Irak sempat menjadi salah satu negara yang memiliki persenjataan tercanggih di Timur Tengah setelah Israel. Pada tahun 1970, konflik antara Irak dan Kuwait terjadi dalam memperebutkan dua pulau, yaitu Warbah dan Bubiyan yang berada di Teluk Persia. Konflik tersebut berkahir dengan pendudukan tentara Irak atas dua pulau tersebut.
Selain itu, pada era tahun 1970an sengketa perbatasan dengan Kuwait masih saja sering terjadi. Kuwait menolak untuk memberikan izin kepada Irak untuk membangun pelabuhan di Delta Shatt Al-Arab. Penolakan ini memperkuat keyakinan Irak bahwa kekuatan konservatif di wilayah Teluk berusaha untuk mengontrol Teluk Persia. Pendudukan Iran atas beberapa pulau di Selat Hormus menambah kekhawatiran Irak terhadap Iran. Sengketa perbatasan Irak dengan Iran tidak dapat dihindari, namun untuk sementara dapat diredam dengan ditandatanganinya Perjanjian Al-Jazair pada 6 Maret 1975.
Latar Belakang Politis
Selain berdasar pada latar belakang historis dan geografis di atas, konflik Irak dengan negara-negara lain juga dilatarbelakangi oleh latar belakang politis. Dalam hal ini ada campur tangan pihak asing yang berkepentingan besar di wilayah tersebut. Alih-alih sebagai penegak demokrasi, pihak asing sebenarnya ingin menguasai tambang minyak di wilayah Irak. Kita ambil contoh sengketa Irak-Iran yang baru beberapa tahun ini saja dapat disudahi. Menurut Abdurrahman Wahid di dalam Jurnal Prisma, selain bersumber pada kedengkian historis antara watak xenophobis (antipati pada orang asing) dari ideologi Pan-Arabisme-nya Partai Ba’ath di Irak dan kosmoplitanisme kaum ningrat yang memerintah Iran, juga mencerminkan perbatasan konfrontasi (frontier of encounter) pengaruh Rusia melawan pengaruh Amerika Serikat di wilayah “bulan sabit subur” (the fertile cresent) yang sangat vital bagi strategi hegemoni masing-masing superpowers.
Sebagaimana Eropa Tengah merupakan perbatasan konfrontasi antara pasukan-pasukan NATO dan Pakta Warsawa dan merupakan wilayah strategis pertama yang harus direbut dalam suatu konflik bersenjata, maka wilayah “bulan sabit subur” yang meliputi negara-negara Lebanon, Siria, Jordania, dan Irak merupakan kunci bagi penguasaan kawasan Timur Tengah secara keseluruhan (bahkan di zaman dahulu merupakan pintu bagi penguasaan dunia, seperti tercermin dalam penaklukan dan penjarahan yang dilakukan oleh Iskandar Yang Agung dari Macedonia).
Oleh sebab itulah, Irak yang berada di wilayah “bulan sabit subur” cukup menarik perhatian superpowers untuk kepentingan politiknya. Ditambah dengan kepercayaan secara historis dan geografis yang menyatakan bahwa untuk menguasai wilayah Timur Tengah secara keseluruhan, maka wilayah yang harus dikuasai terlebih dahulu adalah wilayah “bulan sabit subur” khususnya adalah negara Irak. Adapun secara politis wilayah tersebut merupakan perbatasan konfrontasi yang sangat vital bagi strategi hegemoni masing-masing superpowers. Konflik ideologi dan teologi yang ada justru dimanfaatkan pihak asing untuk mempermulus langkah dalam menguasai wilayah Irak.
Ketika Konferensi Liga Arab diselenggarakan di Baghdad pada tahun 1989, Saddam Husein menggunakan kesempatan itu untuk menggalang kekuatan melawan yang menurutnya konspirasi internasional yaitu antara Amerika Serikat, Inggris, Israel, dan negara-negara Teluk yang akan menghancurkan ekonomi Irak. Dengan demikian perang dapat dilancarkan melalui cara-cara ekonomi. Irak merasa dikhianati oleh Kuwait. Padahal selama itu, Irak perang melawan Iran disebutkan dengan istilah perang melawan Syi’ah untuk melindungi kaum Sunni yang mayoritas tinggal di Arab Saudi dan Kuwait. Irak juga melindungi Kuwait dari ancaman dan subversi kaum Syi’ah. Namun, dibalik itu semua, Kuwait malah membelot bersekutu dengan Arab Saudi, Amerika, dan Inggris untuk menghancurkan perekonomian Irak. Oleh sebab itulah konflik antara Irak dan Kuwait tidak dapat terelakkan.
Latar Belakang Ekonomi
Konflik yang terjadi antara Irak dan Kuwait, salah satunya adalah dilandasi oleh faktor ekonomi. Setelah Irak mengalami peperangan dengan Iran pada tahun 1980-1988, Irak terjebak ke dalam krisis ekonomi maha dahsyat. Pada tahun 1980, Irak memiliki cadangan devisa sebesar 30 Milyar US Dollar. Namun pada tahun 1988, Irak justru memiliki hutang luar negeri yang sangat besar, yaitu berkisar antara 100-120 Milyar US Dollar. Disamping itu, Irak membutuhkan biaya yang cukup besar dalam rekonstruksi infrastruktur yang telah hancur, seperti ladang minyak di Kirkuk, begitu pula pelabuhan dan kilang minyak di Basrah.
Keterpurukan ekonomi ini salah satunya disebabkan oleh diterapkannya Sistem Liberalisasi Ekonomi yang telah dimulai ketika perang dengan Iran. Pengendalian harga oleh pemerintah dihilangkan, kewiraswastaan lebih didorong, badan-badan usaha milik negara dijual kepada swasta. Perizinan diberikan pada proyek-proyek industri yang dimiliki oleh swasta, sektor swasta menguasai hampir seperempat ekspor komoditi yang dibutuhkan Irak dan mengundang investasi dari negara-negara tetangga Arab untuk menanamkan modalnya di Irak. Kegiatan ekonomi liberal itu memberikan kesempatan bagi orang-orang dekat kekuasaan untuk mengambil keuntungan yang sebesar-besarnya. Akibatnya timbuk korupsi, kolusi, dan nepotisme yang pada akhirnya menimbulkan dampak negatif perekonomian Irak.
Ketika Irak dalam masa keterpurukan ekonomi, Irak harus mulai mencari dukungan kepada Arab Saudi dan Kuwait. Namun di balik harapan baik Irak, kedua negara tersebut justru menolak tawaran Irak. Akhirnya Saddam Husein pada waktu itu mengancam dengan kekerasan, yaitu invasi Kuwait dengan berbagai macam cara (Iraq might use other means to extract them). Dalam hal ini sempat terbesit keinginan Saddam dengan kekuatan militernya untuk menjadi pemimpin dunia Arab.

Perlu diingat bahwa Irak sejatinya pernah mengalami pertumbuhan ekonomi yang cukup pesat di masa pemerintahan Ahmad Hasan Al-Bakr. Hal ini dibuktikan dengan langkah Al-Bakr dalam memberikan porsi besar anggaran negara di sektor pertanian dan pembangunan industri. Padahal sebelumnya, hampir 90% anggaran negara dialokasikan untuk anggaran peperangan. Selanjutnya langkah briliant yang diambil oleh Al-Bakr adalah  menasionalisasi Perusahaan Minyak Irak setelah revolusi 1968 yang dilakuakan oleh Ahmad Hasan Al-Bakr sebagai presiden dan ketua Dewan Revolusi (the Revolutionary Command Council) pada masa itu.
*****
Sebagai penutup dari tulisan ini adalah sebuah refleksi dari pertanyaan “apa sebenarnya yang salah dengan Negara Irak?” Kenapa intensitas konflik dengan negara tetangga, dalam hal ini Iran dan Kuwait, cukup tinggi. Secara sederhana, kita dapat menelisik jawaban tersebut dari sisi historis, yaitu ketegangan antara bangsa Arab dan bangsa Persia, ditambah dengan klaim kebenaran absolut teologis antara kelompok Sunni dan Syi’ah. Dari sisi geografis, masalah air dan sengketa perbatasan masih menjadi penyebab utama. Hal ini semakin ditambah rumit oleh keberadaan suku Kurdi yang menyebar di wilayah Irak bagian Utara dan daerah-daearah pegunungan. Mereka berusaha mendapatkan kemerdekaannya dengan meminta dukungan Iran dan Israel. Walhasil konflik di negara Irak akan semakin parah karena Irak merasa diintervensi oleh pihak asing. Dari sisi politik adanya kepentingan asing, dalam hal ini negara-negara super power yang menganggap bahwa untuk menguasai wilayah Timur Tengah yang kaya dengan sumber minyak harus dimulai dari wilayah bulan sabit subur. Wilayah tersebut merupakan perbatasan konfrontasi (frontier of encounter) yang sangat vital bagi strategi hegemoni masing-masing superpowers.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar