Salah satu faktor yang menyumbang kepada kecemerlangan suatu bangsa ialah budaya mengkaji, menulis, dan menterjemahkan karya-karya agung dari khazanah dunia untuk disampaikan kepada seluruh masyarakat. Sebagai contoh adalah kecemerlangan intelektual yang dicapai oleh Bangsa Yunani yang memiliki ahli-ahli falsafah tersohor dunia dan masih dikenal oleh manusia hingga saat ini, seperti: Aristoteles, Plato, dan Socrates. Walaupun mereka hidup beribu-ribu tahun yang lalu, namun khazanah peninggalan mereka melalui tulisan-tulisan masih dibaca dan dikaji dari generasi ke generasi.
Kekayaan khazanah karya melalui usaha penulisan dan penterjemahan ini menyumbang kepada tumbuhnya pusat-pusat ilmu serta perpustakaan-perpustakaan agung dunia (Great Library), seperti apa yang ada di kota Iskandariah di zaman Ptolemi Mesir purba, Jundhisapur di bumi Parsi dam Perpustakaan Baitul Hikmah di kota Baghdad. Kemunculan tiga kota ini sebagai kota ilmu di era masing-masing banyak dipengaruhi oleh budaya mengkaji ilmu serta mencatat dan mendokumentasikan segala penemuan dan penyelidikan mereka. Segala penulisan dan dokumen ini seterusnya akan disimpan, dan dipelihara dengan baik di perpustakaan-perpustakaan yang hingga kini menjadi sumber rujukan-rujukan primary buat para pengkaji.
Disinilah letak penting relasi antara peran perpustakaan Baitul Hikmah dan kebangkitan intelektual Islam di masa kerajaan Abbasiyah, karena Baitul Hikmah pada saat itu menjadi pusat kecemerlangan ilmu dan perpustakaan Islam yang menghimpun karya-karya agung hasil dari penyelidikan yang dijalankan oleh para sarjana dari seluruh dunia. Mereka yang telah melakukan tiga pilar penting ilmu pengetahuan, yaitu: mengkaji, menulis, dan menterjemahkan karya-karya agung lalu mendokumentasikannya di dalam perpustakaan Baitul Hikmah adalah para generasi milineal dahulu. Karya-karya besar mereka telah mempengaruhi peradaban dunia. Sekitar 154 H, seorang pengembara India memperkenalkan naskah astronomi ke Baghdad yang berjudul Siddhanta, yang atas perintah Al-Manshur kemudian diterjemahkan oleh Muhammad Ibn Ibrahim al-Fazari, yang kemudian menjadi astronom Islam pertama. Ilmu perbintangan memang telah menarik minat orang Arab sejak masa-masa kehidupan gurun pasir, karena Islam juga memberikan rangsangan penting untuk mempelajari astronomi sebagai cara untuk menetapkan arah shalat yang harus menghadap kiblat. Disinilah letak urgensi antara ilmu agama dan ilmu pengetahuan. Belakangan, pada abad kesembilan, orang India juga memberikan sumbangan penting terhadap ilmu matematika Arab, yaitu sistem desimal.
Al-Ma’mun dikenal sebagai khalifah yang mengirim utusan hingga Konstatinopel, langsung kepada Raja Leo dari Armenia , untuk mencari karya-karya Yunani. Namun orang Arab tidak memahami bahasa Yunani, dan pada awalnya harus bersandar pada terjemahan yang dibuat oleh orang yang ditaklukkan, baik Yahudi maupun orang Kristen. Mereka menerjemahkan ke bahasa Suriah selanjutnya ke bahasa Arab. Jadi, Hellenisme memasuki Arab melalui bahasa Suriah.
Sejalan dengan kebijakan yang ia ambil, pada 815 M di Baghdad Al-Ma’mun membangun Bayt al-Hikmah (rumah kebijaksanaan) atau “Darrul Ulum”, sebuah perpustakaan, akademi (lembaga pendidikan tinggi yang khusus mengajarkan disiplin ilmu tertentu), sekaligus biro penerjemahan, yang dalam berbagai hal merupakan lembaga pendidikan terpenting sejak berdirinya musium Iskandariah pada paruh abad ke-3 S.M. Baitul Hikmah ini juga dilengkapi dengan ruang-ruang kajian, perpustakaan, dan laboratorium. Dimulai pada masa Al Ma’mun, dan berlanjut pada masa penerusnya, aktivitas intelektual berpusat di akademi yang baru didirikan itu. Kebijakan pemerintah pada waktu itu cukup berpengaruh dalam pengembangan ilmu pengetahuan melalui media perpustakaan.
Baitul Hikmah telah mendatangkan efek yang penting bagi kehidupan intelektual pada waktu itu serta menjadi referensi umum. Bahkan Raja Louis IX dari Perancis sewaktu dalam perjalanan Perang Salib, mendapat ide dari pemikiran perpustakaannya yang pertama di Paris Al-Qanun fi al-tibAl-Risalah oleh Imam al-Syafie, Ihya' ulum al-din dan Tahafut al-falasifah oleh al-Ghazali, Tahafut al-tahafut oleh Ibn Rushd, Kitab al-tauhid oleh Abu Mansur al-Maturidi, Al-Ibanah an usul al-diyanah oleh Abu Hasan al-Ash'ari, Kitab al-Kharaj oleh Abu Yusuf, Muqaddimah oleh Ibn Khaldun - adalah sebagian kecil daripada ribuan kitab-kitab muktabar Islam yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa Barat. Mereka adalah generasi milenial yang telah berhasil menyumbangkan karya agung untuk kemaslahatan dunia. Namun kecanggihan teknologi belum dirasakan oleh generasi milenial zaman dahulu, seperti fasilitas perpustakaan digital dan men-download karya tulis belum ditemukan ketika perpustakaan Baitul-Hikmah berdiri tegak di Baghdad. dari perpustakaan-perpustakaan di Laut Tengah (antara lain Baitul Hikmah). Maka tidak heranlah apabila saat ini karya-karya penting dunia Islam dari berbagai disiplin ilmu dan genre (aliran) sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Barat. Sebagai contoh karya : oleh Ibn Sina,
Perpustakaan digital (digital library atau electronic library atau virtual library) adalah perpustakaan yang mempunyai koleksi buku sebagian besar dalam bentuk format digital dan yang bisa diakses dengan komputer. Jenis perpustakaan ini berbeda dengan jenis perpustakaan konvensional yang berupa kumpulan buku tercetak, film mikro (microform dan microfiche), ataupun kumpulan kaset audio, video, dll. Isi dari perpustakaan digital berada dalam suatu komputer server yang bisa ditempatkan secara lokal, maupun di lokasi yang jauh, namun dapat diakses dengan cepat dan mudah lewat jaringan komputer. Istilah perpustakaan digital pertama kali diperkenalkan lewat proyek NSF/DARPA/NASA: Digital Libraries InitiativeProyek Gutenberg. pada tahun 1994. Perpustakaan digital yang paling banyak dikenal saat ini adalah
Proyek Gutenberg, sering disingkat PG, adalah suatu upaya sukarela untuk melakukan digitalisasi, pengarsipan, dan distribusi karya-karya budaya. Didirikan pada 1971, PG merupakan perpustakaan digital tertua. Sebagian besar koleksinya adalah naskah lengkap buku-buku domain umum. Proyek ini berupaya menyediakan semua koleksinya sebebas mungkin, dalam format yang tahan lama dan terbuka serta dapat digunakan di hampir semua komputer. Selayaknya pengembangan PG ini dilakukan bertahap di daerah-daerah untuk memenuhi kebutuhan generasi milineal zaman sekarang. Dengan mengambil tiga pilar penting generasi milineal zaman dahulu yaitu: mengkaji, menulis, dan menterjemahkan karya-karya agung lalu mendokumentasikannya di dalam perpustakaan.
Perpustakaan tidak akan dipenuhi dengan dokumen-dokumen usang yang berbentuk buku lagi namun perpustakaan mulai diselimuti oleh banyaknya soft file dari kajian, tulisan, dan terjemahan dari para generasi milineal zaman sekarang. Dengan demikian, maka para pengunjung pustakawan dapat men-download atau mengunduh file dengan mudah dan dapat membacanya tidak harus di dalam ruangan perpustakaan yang tertutup, namun dapat dinikmati di luar gedung perpustakaan, sehingga perpustakaan tidak hanya terbatas dalam ruangan namun akan muncul slogan bahwa “semua tempat adalah perpustakaan”, karena kita dapat menikmati hasil dari perpustakaan dimana kita duduk sambil membawa laptop dan membaca file-file yang sudah didapatkan dari perpustakaan tersebut.
Perpustakaan yang disiapkan untuk generasi milineal harus tanggap dan up-dateJasa Kesiagaan Informasi. Jasa Kesiagaan Informasi adalah salah satu jenis layanan rujukan yang memungkinkan pemustaka mendapatkan informasi mengenai bahan pustaka baru bidang yang diminatinya. Jasa Kesiagaan Informasi (JKI) mencakup kegiatan memamerkan bahan pustaka yang baru diterima oleh perpustakaan, memilah dokumen yang sesuai dengan minat pemustaka dan menyebarkan informasi tersebut. Jadi, tiga pilar penting yang menjadi tugas utama JKI adalah memamerkan, memilah, dan menyebarkan. dengan informasi-informasi terkini. Untuk memenuhi hal tersebut, selayaknya setiap perpustakaan di daerah-daerah atau di perguruan-perguruan tinggi harus dilengkapi dengan
Tiga pilar ini menjadi unsur penerus dari tiga pilar proses berkembangnya ilmu pengetahuan di zaman perpustakaan Baitul-Hikmah di Baghdad dahulu kala, yaitu: mengkaji, menulis, dan menterjemahkan karya-karya agung lalu mendokumentasikannya di dalam perpustakaan. Setidaknya ketiga pilar ini saling melakukan hubungan simbiosis mutualisme di zaman generasi milineal sekarang dengan menjadikan perpustakaan sebagai subjeknya, yaitu segala bentuk kajian, tulisan, dan terjemahan yang baru dipamerkan, dipilah, dan disebar luaskan oleh pihak perpustakaan, sehingga perpustakaan akan menjadi pemantik utama dalam mengembangkan ilmu pengetahuan khususnya di kalangan mahasiswa. Dan untuk lebih memotivasi kegiatan tersebut, pihak perpustakaan dalam beberapa waktu tertentu mengadakan perlombaan karya tulis ilmiah, penerjemahan buku, atau penulisan artikel. Sehingga diharapkan perpustakaan diisi oleh karya-karya yang telah dilombakan dan layak untuk dinikmati oleh para pengunjung perpustakaan yang datang. Perpustakaan akan hidup mandiri dengan karya-karya orisional dari masyarakat di sekitar perpustakaan tersebut.
*Mahasiswa Jurusan Sastra Arab Fakultas Ilmu Budaya UGM Yogyakarta.
Pernah menjadi staff perpustakaan di Pondok Modern Gontor Ponorogo.
EBooks 2015
BalasHapushttp://ebooksnova.com/