Apa yang Salah dengan Irak?
Oleh:
Muhammad
Yunus Anis*
Dalam filsafat telah lama diterima
ajaran tentang satu-satunya hukum tetap yang berlaku dalam kehidupan ini adalah
tidak adanya “ketetapan” itu sendiri. Ajaran inilah yang mungkin cukup nyata terealisasikan
dalam sebuah kawasan yang selama ini kita sebut sebagai “Timur Tengah”. Perubahan
sebagai wujud dari tidak adanya ketetapan telah menjadi sebuah harga mati yang
tidak dapat ditawar lagi. Sebuah iklim perubahan, dengan segala macam
manifestasinya dalam setiap aspek kehidupan dan segenap akibat bagi konstelasi
percaturan politik dunia, terlihat nyata di kawasan ini, mulai dari konflik
tanpa henti, upaya penegakan demokrasi, dan upaya integrasi yang seakan-akan
hanya menjadi sebuah fiksi atau cerita rekaan belaka. Hal ini semakin nyata
terlihat dalam upaya integrasi di kawasan Irak baik secara horizontal maupun vertikal.
Apalagi setelah ditambah dengan problematika tidak akurnya Irak dengan negara-negara
yang ada di sekitarnya, semakin membuat kita bertanya: sebenarnya apa yang
salah dengan Irak?
Manifestasi dari tema pergolakan
yang berlangsung secara menetap di negeri 1001 malam ini dapat dilihat dari beberapa
kenyataan berikut: (1) fungsi kawasan Irak dalam konteks kekinian sebagai wadah
konflik antara superpowers, (2) sebagai wadah konflik ideologis dan
teologis antara umat beragama, (3) sebagai wadah konflik antara suku/etnik, dan
(4) sebagai wadah ketegangan antara Irak sendiri dengan negara tetangga.
Berangkat dari empat hal tersebut, makalah ini akan mengurai secara singkat,
padat, dan tepat guna apa yang sebenarnya melatarbelakangi konflik Irak dengan
negara-negara tetangga, pertama dari sisi historis, kedua dari sisi geografis, ketiga
dari sisi politis, dan keempat dari sisi ekonomi.
Latar Belakang Historis
Secara historis, konflik
berkepanjangan antara Irak dengan negara-negara tetangga, dalam hal ini negara
Iran dan Kuwait, bersumber dari fanatisme etnis dan klaim kebenaran dalam hal
teologis. Fanatisme etnis ini terlihat dari saling merasa unggul antara bangsa
Arab dan bangsa Persia. Akar dari masalah ini sebenarnya dimulai lebih dari
berabad-abad silam. Berlarut-larutnya permusuhan yang terjadi antara kerajaan Mesopotamia (terletak di lembah sungai Tigris-Eufrat, yang
kini menjadi sebuah negara Irak modern) dengan kerajaan Persia atau negara Iran modern. Sumber
sejarah menyatakan bahwa pada tahun 638, Mesopotamia yang sekarang dikenal
dengan negara Irak diduduki dan diambilalih dari kekaisaran Sasanian Persia
oleh bangsa Arab dari Jazirah Arab dan rakyat di wilayah itu dijadikan beragama
Islam. Wilayah Mesopotamia ini telah menjadi medan peperangan dan perebutan
kekuasaan silih berganti selama tiga ratus tahun antara Kesultanan Ottoman yang
Sunni dan Kekaisaran Safavid dari Persia yang berhaluan Syi’ah.
Adapun klaim kebenaran absolut dalam
hal teologis ini terlihat dari Ayatullah Khomeini, pemimpin revolusi Islam di Iran. Ia memang memiliki impian untuk menyebarkan pengaruh revolusinya ke
negara-negara Arab lainnya. Pertengahan tahun 1980, Khomeini menyebut bahwa pemerintahan
sekuler Irak adalah pemerintahan "boneka setan" & masyarakat
muslim di Irak sebaiknya bersatu untuk mewujudkan revolusi Islam seperti di
Iran. Pernyataan Khomeini tersebut sekaligus sebagai respon dari pernyataan
Saddam pasca revolusi Islam Iran yang menyatakan bahwa secara historis bangsa
Persia (Iran) tidak akan berhasil membalas dendam kepada bangsa Arab sejak
Pertempuran al-Qadisiyyah, pertempuran pada abad ke-7 yang dimenangkan
oleh bangsa Arab sekaligus menumbangkan Kerajaan Persia kuno.
Latar Belakang Geografis
Untuk menjaga kekuasaannya, Saddam
harus menjaga integritas bangsa dan negara. Salah satu cara adalah menghadapi
pemberontakan suku Kurdi yang secara geografis terletak di wilayah Irak Utara
dan permasalahan Kaum Syia’ah yang berada di wilayah Irak Selatan. Gangguan
terhadap integrasi Irak ini akan selalu terjadi dari pemberontakan suku Kurdi
yang secara langsung didukung oleh Iran dan Israel untuk mencapai
kemerdekaannya. Begitu pula kaum Syi’ah Irak yang selalu mendapatkan dukungan
penuh dari Iran sebagai negara Islam Syia’ah. Untuk itulah, Irak harus menjaga
kesatuan bangsa dan negaranya agar tidak diintervensi oleh negara lain.
Sumber konflik utama di kawasan Timur Tengah juga bermula dari masalah politik
air (hidropolitik). Secara garis besar masalah air laut terdiri dari
masalah terbatasnya akses air laut yang dimiliki oleh beberapa negara Timur Tengah
seperti Irak dan Yordania, masalah perbatasan, dan masalah potensi kekayaan air
laut seperti, mineral, pulau-pulau, dan pendapatan yang diperoleh karena
memiliki laut. Mengingat pentingnya air laut bagi superioritas militer,
pengangkutan eksport minyak dari negara-negara Timur Tengah, dan sebagai
pemasukan penghasilan negara karena hasil dari laut seperti ikan, mineral/gas,
ataupun dari retribusi kapal-kapal asing yang melewati laut maka perbedaan
kondisi air laut tidak jarang menimbulkan konflik.
Ada Negara yang memiliki pantai yang amat panjang dan terdiri dari lebih
dari satu Laut/Samudra seperti Arab Saudi yang memiliki Laut Merah, dan Laut
Arabia, Turki memiliki Laut Mati dan Laut Aegean, Israel dan Mesir memiliki
Laut Mediterranean dan Laut Merah, serta Moroko yang memiliki Laut Tengah dan
Samudra Atlantik, atau Uni Emirat Arab dan Oman yang memiliki Laut Arab dan Samudra
India. Sementara itu, ada Negara yang dapat dikatakan sama sekali tidak
memiliki pantai yaitu Yordania, atau memiliki tetapi sangat terbatas seperti
Irak dan suriah. Padahal untuk meningkatkan perekonomiannya dan memperkuat
Angkatan Lautnya, Irak membutuhkan akses yang cukup luas ke laut lepas. Panjang
pantai yang dikuasai Irak di wilayah Basrah sangat tidak memungkinkan Irak
mempunyai akses yang baik ke laut. Itulah sebabnya Irak meminta kepada Kuwait
untuk memberikan akses ke laut pada Irak. Namun Kuwait tidak mau memberikan.
Hal itulah yang juga menjadi penyebab kenapa Irak selalu mengalami konflik
dengan negara-negara yang ada di dekatnya.
Sedangkan masalah air tawar meliput: masalah air bersih, untuk keperluan
sehari-hari, irigasi guna pengembangan dan pertanian, dan untuk pembangkit
tenaga listrik, serta masalah perbatasan. Sumber air tawar terdiri dari air
permukaan seperti sungai dan danau yang merupakan renewable resources,
dan air tanah (ground water) yang merupakan unrenewable resources.
Setiap permasalahan air tersebut diatas mempunyai potensi konflik cukup tinggi,
dan beberapa diantaranya telah menjadi konflik terbuka seperti perang Irak-Iran
yang disebabkan oleh perbatasan air di Shatt-al Arab, intervensi Irak ke
Kuwait yang salah satu alasannya adalah yaitu terbatasnya akses air laut yang
dimiliki Irak.
Shatt al-Arab adalah sungai sepanjang 200 km yang terbentuk dari pertemuan Sungai Efrat
& Tigris di kota Al-Qurnah, Irak selatan, di mana bagian akhir dari sungai
yang mengarah ke Teluk Persia tersebut terletak di perbatasan Irak & Iran.
Sungai tersebut utamanya penting bagi Irak karena merupakan satu-satunya jalan
keluar negara tersebut ke laut. Karena letaknya yang berada di perbatasan
& posisi strategisnya yang mengarah ke Teluk Persia, sungai tersebut
menjadi bahan sengketa Irak & Iran. Sebelum perang antara kedua meletus,
sejak tahun 1975 sungai tersebut menjadi milik kedua negara di mana batasnya
adalah pada titik terendah sungai berdasarkan Persetujuan Aljier (Algier
Accord).
Wilayah lain yang menjadi sengketa kedua negara adalah provinsi Khuzestan
yang kaya minyak. Wilayah tersebut selama ini menjadi wilayah Iran, namun sejak
tahun 1969 Irak mengklaim bahwa Khuzestan berada di tanah Irak & wilayah
tersebut diserahkan ke Iran ketika Irak dijajah oleh Inggris.
Sengketa perbatasan antara Irak
dengan Kuwait juga bermula dari keadaan geografis perebutan pulau. Hal ini
dilatarbelakangi oleh ambisi Saddam Husein ketika Irak mapan dalam bidang
perekonomian dan cukup kuat dari sisi persenjataannya. Bahkan Irak sempat
menjadi salah satu negara yang memiliki persenjataan tercanggih di Timur Tengah
setelah Israel. Pada tahun 1970, konflik antara Irak dan Kuwait terjadi dalam
memperebutkan dua pulau, yaitu Warbah dan Bubiyan yang berada di
Teluk Persia. Konflik tersebut berkahir dengan pendudukan tentara Irak atas dua
pulau tersebut.
Selain itu, pada era tahun 1970an
sengketa perbatasan dengan Kuwait masih saja sering terjadi. Kuwait menolak
untuk memberikan izin kepada Irak untuk membangun pelabuhan di Delta Shatt
Al-Arab. Penolakan ini memperkuat keyakinan Irak bahwa kekuatan konservatif di
wilayah Teluk berusaha untuk mengontrol Teluk Persia. Pendudukan Iran atas
beberapa pulau di Selat Hormus menambah kekhawatiran Irak terhadap Iran.
Sengketa perbatasan Irak dengan Iran tidak dapat dihindari, namun untuk
sementara dapat diredam dengan ditandatanganinya Perjanjian Al-Jazair pada 6
Maret 1975.
Latar Belakang Politis
Selain berdasar pada latar belakang
historis dan geografis di atas, konflik Irak dengan negara-negara lain juga dilatarbelakangi
oleh latar belakang politis. Dalam hal ini ada campur tangan pihak asing yang
berkepentingan besar di wilayah tersebut. Alih-alih sebagai penegak demokrasi,
pihak asing sebenarnya ingin menguasai tambang minyak di wilayah Irak. Kita
ambil contoh sengketa Irak-Iran yang baru beberapa tahun ini saja dapat
disudahi. Menurut Abdurrahman Wahid di dalam Jurnal Prisma, selain bersumber
pada kedengkian historis antara watak xenophobis (antipati pada orang asing)
dari ideologi Pan-Arabisme-nya Partai Ba’ath di Irak dan kosmoplitanisme kaum
ningrat yang memerintah Iran, juga mencerminkan perbatasan konfrontasi (frontier
of encounter) pengaruh Rusia melawan pengaruh Amerika Serikat di wilayah
“bulan sabit subur” (the fertile cresent) yang sangat vital bagi
strategi hegemoni masing-masing superpowers.
Sebagaimana Eropa Tengah merupakan
perbatasan konfrontasi antara pasukan-pasukan NATO dan Pakta Warsawa dan
merupakan wilayah strategis pertama yang harus direbut dalam suatu konflik
bersenjata, maka wilayah “bulan sabit subur” yang meliputi negara-negara
Lebanon, Siria, Jordania, dan Irak merupakan kunci bagi penguasaan kawasan
Timur Tengah secara keseluruhan (bahkan di zaman dahulu merupakan pintu bagi
penguasaan dunia, seperti tercermin dalam penaklukan dan penjarahan yang
dilakukan oleh Iskandar Yang Agung dari Macedonia).
Oleh sebab itulah, Irak yang berada
di wilayah “bulan sabit subur” cukup menarik perhatian superpowers untuk
kepentingan politiknya. Ditambah dengan kepercayaan secara historis dan
geografis yang menyatakan bahwa untuk menguasai wilayah Timur Tengah secara
keseluruhan, maka wilayah yang harus dikuasai terlebih dahulu adalah wilayah
“bulan sabit subur” khususnya adalah negara Irak. Adapun secara politis wilayah
tersebut merupakan perbatasan konfrontasi yang sangat vital bagi strategi
hegemoni masing-masing superpowers. Konflik ideologi dan teologi yang
ada justru dimanfaatkan pihak asing untuk mempermulus langkah dalam menguasai
wilayah Irak.
Ketika Konferensi Liga Arab
diselenggarakan di Baghdad pada tahun 1989, Saddam Husein menggunakan
kesempatan itu untuk menggalang kekuatan melawan yang menurutnya konspirasi
internasional yaitu antara Amerika Serikat, Inggris, Israel, dan negara-negara
Teluk yang akan menghancurkan ekonomi Irak. Dengan demikian perang dapat
dilancarkan melalui cara-cara ekonomi. Irak merasa dikhianati oleh Kuwait.
Padahal selama itu, Irak perang melawan Iran disebutkan dengan istilah perang
melawan Syi’ah untuk melindungi kaum Sunni yang mayoritas tinggal di Arab Saudi
dan Kuwait. Irak juga melindungi Kuwait dari ancaman dan subversi kaum Syi’ah.
Namun, dibalik itu semua, Kuwait malah membelot bersekutu dengan Arab Saudi,
Amerika, dan Inggris untuk menghancurkan perekonomian Irak. Oleh sebab itulah
konflik antara Irak dan Kuwait tidak dapat terelakkan.
Latar Belakang Ekonomi
Konflik yang terjadi antara Irak dan
Kuwait, salah satunya adalah dilandasi oleh faktor ekonomi. Setelah Irak
mengalami peperangan dengan Iran pada tahun 1980-1988, Irak terjebak ke dalam
krisis ekonomi maha dahsyat. Pada tahun 1980, Irak memiliki cadangan devisa sebesar
30 Milyar US Dollar. Namun pada tahun 1988, Irak justru memiliki hutang luar
negeri yang sangat besar, yaitu berkisar antara 100-120 Milyar US Dollar.
Disamping itu, Irak membutuhkan biaya yang cukup besar dalam rekonstruksi infrastruktur
yang telah hancur, seperti ladang minyak di Kirkuk, begitu pula pelabuhan dan
kilang minyak di Basrah.
Keterpurukan ekonomi ini salah
satunya disebabkan oleh diterapkannya Sistem Liberalisasi Ekonomi yang telah
dimulai ketika perang dengan Iran. Pengendalian harga oleh pemerintah
dihilangkan, kewiraswastaan lebih didorong, badan-badan usaha milik negara
dijual kepada swasta. Perizinan diberikan pada proyek-proyek industri yang
dimiliki oleh swasta, sektor swasta menguasai hampir seperempat ekspor komoditi
yang dibutuhkan Irak dan mengundang investasi dari negara-negara tetangga Arab
untuk menanamkan modalnya di Irak. Kegiatan ekonomi liberal itu memberikan
kesempatan bagi orang-orang dekat kekuasaan untuk mengambil keuntungan yang
sebesar-besarnya. Akibatnya timbuk korupsi, kolusi, dan nepotisme yang pada akhirnya
menimbulkan dampak negatif perekonomian Irak.
Ketika Irak dalam masa keterpurukan
ekonomi, Irak harus mulai mencari dukungan kepada Arab Saudi dan Kuwait. Namun
di balik harapan baik Irak, kedua negara tersebut justru menolak tawaran Irak.
Akhirnya Saddam Husein pada waktu itu mengancam dengan kekerasan, yaitu invasi
Kuwait dengan berbagai macam cara (Iraq might use other means to extract
them). Dalam hal ini sempat terbesit keinginan Saddam dengan kekuatan
militernya untuk menjadi pemimpin dunia Arab.
Perlu diingat bahwa Irak sejatinya pernah
mengalami pertumbuhan ekonomi yang cukup pesat di masa pemerintahan Ahmad Hasan
Al-Bakr. Hal ini dibuktikan dengan langkah Al-Bakr dalam memberikan porsi besar
anggaran negara di sektor pertanian dan pembangunan industri. Padahal
sebelumnya, hampir 90% anggaran negara dialokasikan untuk anggaran peperangan.
Selanjutnya langkah briliant yang diambil oleh Al-Bakr adalah menasionalisasi Perusahaan Minyak Irak
setelah revolusi 1968 yang dilakuakan oleh Ahmad Hasan Al-Bakr sebagai presiden
dan ketua Dewan Revolusi (the Revolutionary Command Council) pada masa
itu.
*****
Sebagai penutup dari tulisan ini adalah sebuah refleksi dari
pertanyaan “apa sebenarnya yang salah dengan Negara Irak?” Kenapa intensitas
konflik dengan negara tetangga, dalam hal ini Iran dan Kuwait, cukup tinggi.
Secara sederhana, kita dapat menelisik jawaban tersebut dari sisi historis,
yaitu ketegangan antara bangsa Arab dan bangsa Persia, ditambah dengan klaim
kebenaran absolut teologis antara kelompok Sunni dan Syi’ah. Dari sisi
geografis, masalah air dan sengketa perbatasan masih menjadi penyebab utama.
Hal ini semakin ditambah rumit oleh keberadaan suku Kurdi yang menyebar di
wilayah Irak bagian Utara dan daerah-daearah pegunungan. Mereka berusaha
mendapatkan kemerdekaannya dengan meminta dukungan Iran dan Israel. Walhasil
konflik di negara Irak akan semakin parah karena Irak merasa diintervensi oleh
pihak asing. Dari sisi politik adanya kepentingan asing, dalam hal ini
negara-negara super power yang menganggap bahwa untuk menguasai wilayah Timur
Tengah yang kaya dengan sumber minyak harus dimulai dari wilayah bulan sabit
subur. Wilayah tersebut merupakan perbatasan konfrontasi (frontier of
encounter) yang sangat vital bagi strategi hegemoni masing-masing superpowers.